Asal Mula Nama Palembang
Pada zaman dahulu, daerah Sumatra
Selatan dan sebagian Provinsi Jambi berupa hutan belantara yang unik dan indah.
Puluhan sungai besar dan kecil yang berasal dari Bukit Barisan, pegunungan
sekitar Gunung Dempo, dan Danau Ranau mengalir di wilayah itu. Maka, wilayah
itu dikenal dengan nama Ba*tanghari Sembilan. Sungai besar yang mengalir di
wilayah itu di antaranya Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai
Rawas, dan beberapa sungai yang bermuara di Sungai Musi. Ada dua Sungai Musi
yang bermuara di laut di daerah yang berdekatan, yaitu Sungai Musi yang melalui
Palembang dan Sungai Musi Banyuasin agak di sebelah utara.
Karena banyak sungai besar, dataran rendah yang
melingkar dari daerah Jambi, Sumatra Selatan, sampai Provinsi Lampung merupakan
daerah yang banyak mempunyai danau kecil. Asal mula danau-danau kecil itu
adalah rawa yang digenangi air laut saat pasang. Sedangkan kota Palembang yang
dikenal sekarang menurut sejarah adalah sebuah pulau di Sungai Melayu. Pulau
kecil itu berupa bukit yang diberi nama Bukit Seguntang Mahameru.
Keunikan tempat itu selain hutan rimbanya yang lebat
dan banyaknya danau-danau kecil, dan aneka bunga yang tumbuh subur, sepanjang
wilayah itu dihuni oleh seorang dewi bersama dayang-dayangnya. Dewi itu disebut
Putri Kahyangan. Sebenarnya, dia bernama Putri Ayu Sundari. Dewi dan
dayang-dayangnya itu mendiami hutan rimba raya, lereng, dan puncak Bukit
Barisan serta kepulauan yang sekarang dikenal dengan Malaysia. Mereka gemar datang
ke daerah Batanghari Sembilan untuk bercengkerama dan mandi di danau, sungai
yang jernih, atau pantai yang luas, landai, dan panjang.
Karena banyaknya sungai yang bermuara ke laut, maka
pada zaman itu para pelayar mudah masuk melalui sungai-sungai itu sampai ke
dalam, bahkan sampai ke kaki pegunungan, yang ternyata daerah itu subur dan
makmur. Maka terjadilah komunikasi antara para pedagang termasuk pedagang dari
Cina dengan penduduk setempat. Daerah itu menjadi ramai oleh perdagangan antara
penduduk setempat dengan pedagang. Akibatnya, dewi-dewi dari kahyangan merasa
terganggu dan mencari tempat lain.
Sementara itu, orang-orang banyak datang di sekitar
Sungai Musi untuk membuat rumah di sana. Karena Sumatra Selatan merupakan
dataran rendah yang berawa, maka penduduknya membuat rumah yang disebut dengan
rakit.
Saat itu Bukit Seguntang Mahameru menjadi pusat
perhatian manusia karena tanahnya yang subur dan aneka bunga tubuh di daerah
itu. Sungai Melayu tempat Bukit Seguntang Mahameru berada juga menjadi terkenal.
Oleh karena itu, orang yang telah bermukim di Sungai
Melayu, terutama penduduk kota Palembang, sekarang menamakan diri sebagai
penduduk Sungai Melayu, yang kemudian berubah menjadi penduduk Melayu.
Menurut bahasa Melayu tua, kata lembang berarti dataran
rendah yang banyak digenangi air, kadang tenggelam kadang kering. Jadi,
penduduk dataran tinggi yang hendak ke Palembang sering mengatakan akan ke
Lembang. Begitu juga para pendatang yang masuk ke Sungai Musi mengatakan akan
ke Lembang.
Alkisah ketika Putri Ayu Sundari dan pengiringnya masih
berada di Bukit Seguntang Mahameru, ada sebuah kapal yang mengalami kecelakaan
di pantai Sumatra Selatan. Tiga orang kakak beradik itu adalah putra raja
Iskandar Zulkarnain. Mereka selamat dari kecelakaan dan terdampar di Bukit
Seguntang Mahameru.
Mereka disambut Putri Ayu Sundari. Putra tertua Raja
Iskandar Zulkarnain, Sang Sapurba kemudian menikah dengan Putri Ayu Sundari dan
kedua saudaranya menikah dengan keluarga putri itu.
Karena Bukit Seguntang Mahameru berdiam di Sungai
Melayu, maka Sang Sapurba dan istrinya mengaku sebagai orang Melayu. Anak cucu
mereka kemudian berkembang dan ikut kegiatan di daerah Lembang. Nama Lembang
semakin terkenal. Kemudian ketika orang hendak ke Lembang selalu mengatakan
akan ke Palembang. Kata pa dalam bahasa Melayu tua menunjukkan daerah atau
lokasi. Pertumbuhan ekonomi semakin ramai. Sungai Musi dan Sungai Musi
Banyuasin menjadi jalur perdagangan kuat terkenal sampai ke negara lain. Nama
Lembang pun berubah menjadi Palembang.
Putri Bongsu Alang
Di daerah Sumatera Selatan tepatnya di
tepi Sungai Bilah hiduplah seorang putri yang cantik bernama Bongsu Alang.
Kecantikan putri Bongsu Alang semakin bersinar dengan kepribadiannya yang mulia
sehingga semua orang menyayanginya. Kecantikan putri ini tersiar hingga ke
mana-mana dan sampai ke telinga Raja Nulong. Kemudian raja Nulong mengutus
seorang patih untuk datang menemui Putri Bongsu Alang. Kedatangan patih
bermaksud untuk menyampaikan pesan Raja Nulong yang ingin mengambilnya sebagai
permaisuri.
Putri Bongsu Alang mengajukan sebuah syarat yaitu Raja
Nulong harus dapat memetik tujuh buah jeruk purut dan dipetik dengan
menggunakan kaki. meskipun sulit namun Raja Nulong sudah bertekad untuk
menjadikan Putri Bongsu Alang sebagai istrinya. Setelah beberapa hari akhirnya
Raja Nulong berhasil memetik tujuh buah jeruk purut dengan menggunakan kaki.
jeruk purut itu lalu diletakkan di dalam ruas bambu dan diberikan kepada Putri
Bongsu Alang. Sang putri merasa senang dan menerima pinangan raja Nulong.
Akhirnya pernikahan pun dilangsungkan dan putri Bongsu Alang diboyong ke istana
untuk menjadi permaisuri.
Walaupun telah tinggal di istana
namun permaisuri tidak menjadi sombong, dia malah sangat berbaik hati kepada
semua rakyat. Kecerdasannya dalam menyelesaikan masalah istana dan masyarakat
membuat rakyat mencintai Permaisuri Bongsu Alang. Rakyat hidup dengan makmur
dan sejahtera. Di dalam istana Permaisuri memiliki seorang dayang yang di
percaya mengurusi semua keperluannya nama dayang tersebut adalah Jebak Jabir.
Dayang ini merasa iri kepada Permaisuri dan bermaksud ingin mencelakakannya.
Pada suatu hari Permaisuri Bongsu
Alang mengajak Dayang Jebak Jabir untuk mandi di sungai. Kesempatan ini tidak
di sia-siakan oleh Jebak Jabir. Ketika sedang asyik bermain air, Jebak Jabir
mengajak Permaisuri Bongsu Alang untuk mandi di tempat yang lebih dalam. Jebak
Jabir berjanji akan menjaga permaisuri. Tanpa berprasangka apa-apa permaisuri
pun mandi ke tempat yang lebih dalam, ketika itulah Jebak Jabir mendorong
permaisuri hingga tenggelam. Permaisuri yang tidak bisa berenang merasa
ketakutan dan akhirnya tenggelam. Jebak Jabir lalu memakai pakaian permaisuri
dan pulang ke istana dan berpura-pura menjadi permaisuri Bongsu Alang.
Perawakan Jebak Jabir memang sangat
mirip dengan Permaisuri, wajah dan bentuk tubuhnya sangat mirip seperti kembar
adanya. Hanya saja Jebak Jabir memiliki kulit yang lebih hitam dari Permaisuri.
Hal ini tidak menimbulkan kecurigaan Raja Nulong. Ketika Jebak Jabir pulang ke
istana dia berpura-pura menangis dan mengatakan kalau Jebak Jabir tenggelam di
sungai. Raja Nulong yang tidak mengetahui hal ini berusaha menghibur permaisuri
palsu. Lalu tinggallah Jebak Jabir di istana sebagai permaisuri dan tidak ada
yang curiga terhadapnya.
Hingga pada suatu hari Raja Nulong
berjalan-jalan di tepi sungai, ketika itu Raja Nulong menemukan bambu yang
berisi jeruk purut pemberiannya kepada Permaisuri Bongsu Alang ketika ingin
meminangnya dahulu. Raja Nulong merasa sedih karena menganggap bahwa permaisuri
telah melupakan pemberian itu. Pada ketika itulah terdengar angin berbisik dan
membunyikan suara seorang wanita. Suara tersebut memberitahu kepada Raja Nulong
bahwa Jebak Jabir adalah permaisuri palsu. Suara itu tidak lain adalah suara
Permaisuri Bongsu Alang yang telah berubah menjadi sebatang pohon rindang di
tepi sungai.
Mendengar bisikan angin tersebut
Raja Nulong sadar kalau dia telah ditipu. Kemudian raja Nulong segera pulang ke
istana dan menemui Jebak Jabir. Mengetahui kalau penyamarannya telah di ketahui
raja, Jebak Jabir menggigil ketakutan dan menceritakan kejadian sebenarnya.
Mendengar cerita itu raja Nulong marah dan memerintahkan bawahannya untuk
menangkap Jebak Jabir dan memberi hukuman setimpal atas kesalahannya.
Seluruh rakyat yang mendengar cerita itu menjadi sedih, mereka berdoa agar permaisuri bisa kembali menjadi manusia. Karena permaisuri memiliki hati yang mulia maka ia pun berubah menjadi manusia dan kembali ke istana. Permaisuri hidup bahagia bersama raja Nulong. Pohon tempat Permaisuri di namai pohon Kayu Si Alang. Lama-kelamaan menjadi kayu Tualang dan desa itu kini bernama desa Tualang.
Seluruh rakyat yang mendengar cerita itu menjadi sedih, mereka berdoa agar permaisuri bisa kembali menjadi manusia. Karena permaisuri memiliki hati yang mulia maka ia pun berubah menjadi manusia dan kembali ke istana. Permaisuri hidup bahagia bersama raja Nulong. Pohon tempat Permaisuri di namai pohon Kayu Si Alang. Lama-kelamaan menjadi kayu Tualang dan desa itu kini bernama desa Tualang.
Legenda Si Pahit Lidah, Palembang sumatera Selatan
Tersebutlah kisah seorang pangeran
dari daerah Sumidang bernama Serunting. Anak keturunan raksasa bernama Putri
Tenggang ini, dikhabarkan berseteru dengan iparnya yang bernama Aria Tebing.
Sebab permusuhan ini adalah rasa iri-hati Serunting terhadap Aria Tebing.
Dikisahkan,
mereka memiliki ladang padi bersebelahan yang dipisahkan oleh pepohonan.
Dibawah pepohonan itu tumbuhlah cendawan. Cendawan yang menghadap kearah ladang
Aria tebing tumbuh menjadi logam emas. Sedangkan jamur yang menghadap ladang
Serunting tumbuh menjadi tanaman yang tidak berguna.
Perseteruan
itu, pada suatu hari telah berubah menjadi perkelahian. Menyadari bahwa
Serunting lebih sakti, Arya Tebing menghentikan perkelahian tersebut. Ia
berusaha mencari jalan lain untuk mengalahkan lawannya. Ia membujuk kakaknya
(isteri dari Serunting) untuk memberitahukannya rahasia kesaktian Serunting.
Menurut
kakaknya Aria Tebing, kesaktian dari Serunting berada pada tumbuhan ilalang
yang bergetar (meskipun tidak ditiup angin). Bermodalkan informasi itu, Aria
Tebing kembali menantang Serunting untuk berkelahi.
Dengan
sengaja ia menancapkan tombaknya pada ilalang yang bergetar itu. Serunting
terjatuh, dan terluka parah. Merasa dikhianati isterinya, ia pergi mengembara.
Serunting
pergi bertapa ke Gunung Siguntang. Oleh Hyang Mahameru, ia dijanjikan kekuatan
gaib. Syaratnya adalah ia harus bertapa di bawah pohon bambu hingga seluruh
tubuhnya ditutupi oleh daun bambu. Setelah hampir dua tahun bersemedi,
daun-daun itu sudah menutupi seluruh tubuhnya. Seperti yang dijanjikan, ia
akhirnya menerima kekuatan gaib. Kesaktian itu adalah bahwa kalimat atau
perkataan apapun yang keluar dari mulutnya akan berubah menjadi kutukan. Karena
itu ia diberi julukan si Pahit Lidah.
Ia
berniat untuk kembali ke asalnya, daerah Sumidang. Dalam perjalanan pulang
tersebut ia menguji kesaktiannya. Ditepian Danau Ranau, dijumpainya terhampar
pohon-pohon tebu yang sudah menguning. Si Pahit Lidah pun berkata, “jadilah
batu.” Maka benarlah, tanaman itu berubah menjadi batu. Seterusnya, ia pun
mengutuk setiap orang yang dijumpainya di tepian Sungai Jambi untuk menjadi
batu.
Namun,
ia pun punya maksud baik. Dikhabarkan, ia mengubah Bukit Serut yang gundul
menjadi hutan kayu. Di Karang Agung, dikisahkan ia memenuhi keinginan pasangan
tua yang sudah ompong untuk mempunyai anak.
Bukti
Batu Gajah Di Pasemah akibat “Kutukan” Si Pahit Lidah
Nurhadi
Rangkuti meraba-raba batu gajah sambil menjelaskan torehan gelang kaki pada
wujud tokoh manusia yang memegang gajah, yang merupakan benda koleksi Museum
Balaputradewa di Palembang.
Si
Pahit Lidah sungguh sakti kata-katanya. Setiap serapah sumpah yang keluar dari
mulutnya yang berlidah pahit kontan akan membuat benda yang dikutuk menjadi
batu. Begitu kira-kira dongeng lisan masyarakat Pasemah di kawasan Lahat dan
Pagar Alam di Sumatera Selatan.
Kesaktian
tokoh suci folklorik itu menjadi salah satu hiasan info populer perihal
banyaknya arca batu dan batu bertatahkan torehan bentuk manusia dan binatang.
Cerita
rakyat itu hanya imbuhan karena para pakar arkeologi sejak zaman penjajahan
Belanda hingga kini masih terkagum- kagum dan takjub dengan adanya peninggalan
budaya masa lampau, konon ditaksir sudah sejak beratus-ratus tahun silam.
Lokasi
situs megalitik itu letaknya di alam bumi Pasemah Lahat dan Pagar Alam, sekitar
500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi antara 750 meter-1.000 meter
di kaki Gunung Dempo dari Pegunungan Bukit Barisan dan daerah aliran hulu
Sungai Musi dan anak-anak sungainya.
Ahli
arkeologi Belanda sejak EP Tombrink (1827), Ulmann (1850), LC Westernenk
(1921), Th van der Hoop (1932) dan lainnya sejak dulu berusaha memecahkan
misteri ilmiah keberadaan kompleks situs megalitik yang penuh serakan
peninggalan arkeologi.
“Van
den Hoop tercatat membawa batu bundar ini ke Palembang, sekitar tahun 1930-an
tanpa penjelasan rinci,” ujar Drs Nurhadi Rangkuti MSi (49), Kepala Balai
Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, akhir Februari lalu, saat menjelaskan batu
besar berhiasan unik yang kini koleksi Museum Balaputradewa di kota Palembang.
Batu
bundar macam telur besar pejal asal Kotoraya di Lahat mencolok sekali tatahan
dan goresannya berbentuk gajah dan manusia. Perhatikan hiasan pahatannya,
menggambarkan seorang manusia sedang menggapit seekor gajah. Tokoh itu
mengenakan tutup kepala macam ketopong, telinganya mengenakan semacam anting
dan mengenakan juga kalung leher. Kakinya mengenakan gelang kaki yang diduga
berbahan logam. Di punggung manusia itu ada sebentuk nekara, tetapi wajahnya
berbibir tebal, hidung pesek dan pendek, mata lonjong dan badannya terkesan
bungkuk. Di pinggangnya terdapat senjata tajam, ujar Nurhadi yang mengaku belum
pernah mengukur rinci besar dan bobot batu andesit itu.
“Dari
ujung belalai sampai ke ekor gajahnya, sekitar 2,7 meter. Di balik relief gajah
ini, ada pula bentuk seekor babi bertaring panjang dengan dua tokoh manusia.”
Peninggalan
tradisi megalitik itu amat terkenal di dunia kajian arkeologi karena, selain
diduga dari masa prasejarah, tradisi batu besar itu pun berlanjut sampai kini.
Bentuk peninggalan megalitik lainnya di wilayah Pasemah, selain batu gajah dan
beberapa arca besar lainnya yang kini ada di Palembang, di Pagar Alam juga
masih banyak peninggalan arkeologi berupa arca batu besar, alat-alat batu,
tembikar, bilik batu dan menhir.
Khususnya
di situs bilik batu, terdapat lukisan menggambarkan manusia sedang menggamit
seekor kerbau dengan warna merah bata, hitam, dan kuning oker. Selain itu, juga
ada lukisan aneka bentuk lukisan manusia, binatang, dan burung dengan kombinasi
warna merah, kuning, putih, dan hitam.
“Seluruh
peninggalan budaya prasejarah itu memberikan informasi bahwa pada masa lampau
di daerah hulu Sungai Musi sudah terdapat hunian awal manusia, di daerah tepian
sungai pada bidang tanah yang tinggi. Hunian yang lebih sedikit maju ditemukan
di daerah kaki Gunung Dempo di sekitar kota Pagar Alam sekarang. Di daerah ini
ditemukan banyak sekali arca megalit dan bilik-bilik batu yang berhiaskan
lukisan” tulis arkeolog Bambang Budi Utomo.
Legenda Pulau Kemaro, Palembang sumatera selatan
Konon dahulu kala, di Bhumi Sriwijaya memerintahlah
seorang raja yang adil dan bijak sana. Raja ini memiliki seorang puteri
yang cantik jelita bernama Siti Fatimah. Banyak pemuda-pemuda tampan dari
berbagai penjuru nusantara datang, namun tidak satu pun yang bisa menaklukkan
hati puteri Siti Fatimah.
Namun pada suatu hari, datanglah sebuah kapal besar
dari negeri Cina, bersama dengan rombongan yang dipimpin seorang pangeran
bernama Tam BUn An.
“Hmmm… Haiya…. Ini ternyata kerajaan Sriwijaya yang
terkenal itu. Kotanya memang megah, penduduknya ramah-ramah dan makanan
pempeknya uenak sekali, ya. Haiya….” Kata sang pangeran.
“Pangeran Tam Bun An mau langsung menemui puteri Siti
Fatimah?” Tanya sang nahkoda kapal.
“Iyalah. Aku kan jauh-jauh ke Bhumi Sriwijaya ini
karena tertarik kecantikan sang puteri Siti Fatimah, haruslah aku datang
menemuinya sesegera mungkin.” Kata pangeran Tam Bun An.
“Ayo, pengawal. Kita langsung ke istana untuk menemui
puteri raja. Siapkan barongsai dan musik perkusi yang meriah untuk menarik
hatinya.” Kata sang nahkoda kapal.
Lalu rombongan pangeran dari Cina ini masuk ke kota
Sriwijaya dengan meriah, di depan ada barongsai singa dengan dua orang pembawa
pangeran Tam Bun An dan sang nahkoda. Di belakangnya ada 10 orang pengawal
dengan barongsai naganya. Kemudian yang terakhir adalah rombongan 10 orang
membawa serta menabuh gendang dan perkusi lainnya.
Rombongan barongsai ini memainkan musik dan atraksinya
tepat di depan istana raja Sriwijaya dan keramaian itu membuat puteri Siti
Fatimah tertarik melihatnya.
“Dayang, ada apa gerangan di luar sana? Seperti ada
keramaian dan musik yang menarik?” Kata sang puteri.
“Sepertinya ada rombongan penari barongsai tuan puteri.
Kabarnya sudah dua hari mereka berlabuh di dermaga dipimpin oleh pangeran
tampan dari Cina.” Kata si dayang.
“Oh, aku ingin sekali melihat atraksi mereka dayang.
Mari kita ke pintu gerbang!” Dan puteri Siti Fatimah bersama dayang serta
beberapa pengawal menonton pertunjukan barongsai itu sambil bertepuk tangan
senang sekali.
“Wah, tarian dan gerakan silat serta musik kalian
begitu indah sekali, dari manakah gerangan tuan?” Tanya sang puteri.
“Haiya..Saya Tam Bun An dari negeri Cina, ingin sekali
bertemu dengan puteri Siti Fatimah yang cantik jelita. Segala musik dan gerak
tari serta gerakan kung-fu yang tadi kami peragakan, semuanya untuk
dipersembahkan pada sang puteri jelita…Haiya..”
“Oh, terima kasih pangeran tampan. Kalau boleh saya
tahu apakah maksud kedatangan pangeran ke mari ?” Tanya sang puteri dengan pipi
merona merah.
“Haiya….Saya datang kemari hanya untuk satu tujuan
menemui sang puteri Siti Fatimah yang kabarnya seperti bidadari. Ternyata kabar
itu benar sekali, saya malahan seperti melihat 7 bidadari dari kahyangan.
Haiya…” Sang pangeran merayu, membuat puteri tambah malu-malu. Begitu banyak
pangeran di nusantara yang menyatakan rasa suka, namun baru sekali ini hati
puteri Siti Fatimah menjadi bergelora oleh rasa cinta.
Seperti sudah ada perasaan kenal lama, keduanya pun
saling suka dan dalam 3 kali pertemuan bertekad menyatukan cinta.
Lalu ada bangsawan istana yang pernah ditolak cintanya
oleh Siti Fatimah iri hati dan memberitahukan ke raja tentang hal ini. Dia
mengatakan bahwa sang pangeran mau membawa puteri pergi ke negeri Cina.
“Cepat panggil pangeran Cina itu menghadapku!” Kata
Raja Bhumi Sriwijaya.
“Hamba menghadap raja.” Kata sang pangeran Cina.
“Apa benar kau dan puteriku Siti Fatimah saling
mencinta?”
“Benar raja. Hamba benar-benar mencintai puteri raja
yang gagah perkasa.”
“Anak muda, adat istiadat kita berbeda dan beta tidak
bersedia anakku kau bawa ke negeri Cina!” Kata sang Raja.
“Haiya…Saya sudah belajar adat istiadat sini raja dan
saya bersedia tinggal dan bekerja dagang di Bhumi Sriwijaya duhai raja.” Sang
pangeran Cina menyanggupi.
“Kalau begitu duduk perkaranya. Baiklah, kau boleh
menjadi menantuku dengan syarat, kau memberikan uang mahar sejumlah 9 guci
besar berisi emas untuk meminang puteriku.” Kata sang raja.
“Baiklah raja, permintaan raja akan saya sampaikan.”
Lalu pangeran membuat surat yang dititipkan ke merpati
pos yang terbang sampai ke istana orang tuanya di negeri Cina.
Ayahanda sang pangeran mengirim surat balik dan
menyatakan menyanggupinya.
Lalu bangsawan Cina itu mengirimkan 9 buah guci berisi
emas batangan. Akan tetapi supaya jangan diincar oleh penjahat bajak laut
dari Somalia, maka ayah si pangeran memerintahkan, “Masukkan sayur-mayur di
bagian paling atas guci-guci itu, supaya para bajak laut Somalia tidak tertarik
merampok dan menguasai kapal kita”.
“Perintah dilaksanakan tuan!” Kata si pelayan bangsawan
Cina.
Dan 2 bulan kemudian, sampailah kapal beserta 9 guci
itu ke Bhumi Sriwijaya. Pangeran dengan bahagia menyampaikan kabar itu pada
puteri Siti Fatimah dan ayahandanya.
“Haiya…Sembilan guci kiriman ayahanda sudah datang
tuanku Raja. Mari kita ke kapal untuk melihatnya.”
“Mari para pengawal dan puteriku. Kita pergi ke dermaga.”
Kata sang raja.
“Haiya…Itu guci ada 9 dan besar-besar sekali. Itu
persembahan dari papa dan mama saya tuanku raja..” Si pangeran Tam Bun An pun
tertawa senang.
Tetapi saat dia membuka ke 9 guci tersebut, dia melihat
isinya hanya sayur-sayuran yang sudah membusuk.
“Ha? Kenapa papa dan mama tega berbuat seperti ini?
Papa dan mama berjanji kirimkan 9 guci berisi emas untuk meminang kekasihku
Siti Fatimah? Tetapi kenapa dikirimkan sayur-sayuran dalam guci-guci ini? Maaf,
saya malu tuanku raja. Biarlah saya buang guci-guci ini ke Sungai Musi.
Papa dan mama jahat sekali dengan aku anaknya”
“Sudahlah, kakanda. Janganlah berburuk sangka dengan
ayahanda di Cina sana. Mungkin saja ada orang lain yang jahat menukar isinya
dengan sayur-sayuran. Jangan marah dengan orang tua kakanda.” Kata sang puteri
menyabarkannya.
“Tidak bisa! Ini benar-benar kelewatan. Saya benci pada
papa dan mama saya. Saya buang saja guci-guci bersayur busuk itu!” Sang
pangeran pun melempar guci-guci yang berat itu ke sungai.
Satu! Dua! Tiga!4,5,6,7,8…….Dan Saat guci ke-9 dia
angkat, pangeran Tam Bun An sudah kecapaian. Lalu guci terlepas dan pecah di
lantai kapal.
“Olala…..Tampaklah diantara pecahan guci itu emas
batangan yang berkilauan.
“Ha? Emas batangan?”
“Iya, kakanda, ternyata benar papa dan mama kakanda
mengirimkan emas-emas batangan di guci-guci lainnya juga. Sayur-sayuran tadi
hanya untuk mengelabui saja kakanda.” Kata puteri Siti Fatimah.
“Ya, sudahlah pangeran. Saya percaya akan niat baik
orang tuamu. Biarlah saja guci-guci yang sudah jatuh ke Sungai Musi itu. Tanpa
itu semua kau masih kuijinkan menikahi puteriku.” Kata Raja.
“Tidak tuanku Raja. Saya menyesal telah berburuk sangka
dengan papa dan mama di Cina. Saya telah durhaka memarahi mereka. Biarlah saya
mengambil kembali semua emas-emas yang saya buang ke sungai itu. Tunggu aku
adinda.” Dan walaupun sudah berusaha dicegah oleh puteri dan pengawal istana
pangeran Tam Bun An tetap terjun ke Sungai Musi.
Satu jam, dua jam, setengah hari pangeran Tam Bun An
tidak muncul-muncul lagi.
“Kanda, saya sangat mencintai kakanda. Saya akan
menyusul kakanda mencari emas itu. Bila saya tidak kembali dan muncul endapan
tanah di tengah sungai ini, anggaplah itu tempat kami berdua memadu janji.”
Lalu tanpa diduga si puteri pun melompat ke Sungai Musi dan tidak muncul-muncul
lagi.
Bertahun-tahun kemudian, lambat laun muncullah endapan
tanah di tempat kedua kekasih itu terjun di tengah Sungai Musi.
Di sana dibuatkan oleh penduduk setempat sebuah
kelenteng dan sebuah mesjid tempat sembahyang yang berdampingan.
Setiap perayaan Cap Go Meh pulau itu ramai dikunjungi
warga Palembang.
Nah, adik-adik, dari cerita ini dapat diambil pelajaran
adalah: Jangan sekali-sekali menganggap jelek pemberian orang tua kepada kita
dengan marah-marah dan mencaci makinya. Mungkin saja menurut kalian pemberian
atau didikannya tidak cocok dengan yang kau inginkan. Akan tetapi pasti ada
nilai kebaikan di dalamnya yang walaupun tidak langsung terlihat manfaatnya
saat ini, tetapi akan tampak bersinar terang-benderang pada waktunya nanti.
Ingatlah! Semua orang tua yang baik pasti akan
memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua,
BalasHapusSengaja ingin menulis sedikit kesaksian untuk berbagi,
barangkali ada teman-teman yang sedang kesulitan masalah keuangan
Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa Tumbal karena
usaha saya bangkrut dan saya menanggung
hutang sebesar 750juta saya sters hamper bunuh diri tidak tau harus bagaimana
agar bisa melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu
dengan kyai ronggo, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari saya
berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI RONGGO KUSUMO kata
Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan penarikan uang gaib
3Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti dan hanya 1 hari
Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 3M yang saya minta benar benar ada
di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya buat modal usaha. sekarang
rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada. Maka dari itu, setiap kali ada teman
saya yang mengeluhkan nasibnya, saya sering menyarankan untuk menghubungi kyai
ronggo kusumo di 082349356043 situsnya www.ronggo-kusumo.blogspot.com agar di
berikan arahan. Toh tidak langsung datang ke jawa timur, saya sendiri dulu
hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sama baik, jika ingin
seperti saya coba hubungi kyai ronggo kusumo pasti akan di bantu