Di Dusun Demangan Baru, wilayah Yogyakarta, ada seorang ibu setengah baya yang bernama Mbok Rondo Dhadapan, ia mempunyai anak yang berumur 10 tahun, tetapi tubuhnya sangat kecil, tidak lebig dari genggaman tangan manusia. meski begitu, Mbok Rondo sangat menyayangi dan mengasihi anaknya.Anak itu bernama Kepel.
Pada suatu hari, di desa tersiar kabar bahwa sesuatu yang mengerikan akan melanda wilayah itu. Raksasa Hijau yang tinggal di Gunung Merbabu akan bangun dan mencari mangsa. Penduduk desapun cemas, temaksud Mbok Rondo.
Tepat pada saat Mbok Rondoo sedang membuka pintu, raksasa sudah berdiri di depannya. Menjeritlah wanita itu tatkala ia menyaksikan Kepel di tangkap raksasa. Namun aksasa itu tiba-tiba meraung sambil memegangi perutnya. Rupanya, sebelum sempat dihancurkan oleh raksasa Kepel menusuk-nusukan pisau lipat kecil sakti di dalam tubuh raksasa. Akhirnya, raksasa tergeletak tak bernyawa.
seluruh penduduk takjub melihat peristiwa itu. Kepel dielu-elukan oleh seluruh penduduk kampung karena telah berhasil mengalahkan raksasa hijau itu. Mereka sekarang paham bahwa sang pahlawan justru si Kepel (manusia yang besarnya tidak lebih dari genggaman tangan).
if you need some information, you can coment.! god willing i can help you to get that information :)
Kamis, 24 Oktober 2013
Legenda Batu Gantung-Parapat
Kota ini sering digunakan sebagai tempat singgah oleh para wisatawan yang melintas di Jalan Raya Lintas Sumatera (Jalinsum) bagian barat yang menghubungkan Kota Medan dengan Kota Padang. Selain sebagai objek wisata yang eksotis, Parapat juga merupakan sebuah kota yang melegenda di kalangan masyarakat di Sumatera Utara. Dahulu, kota kecil ini merupakan sebuah pekan yang terletak di tepi Danau Toba. Setelah terjadi suatu peristiwa yang sangat mengerikan, tempat itu oleh masyarakat diberi nama Parapat atau Prapat.
Dalam peristiwa itu, muncul sebuah batu yang menyerupai manusia yang berada di tepi Danau Toba. Menurut masyarakat setempat, batu itu merupakan penjelmaan seorang gadis cantik bernama Seruni. Peristiwa apa sebenarnya yang pernah terjadi di pinggiran kota kecil itu? Kenapa gadis cantik itu menjelma menjadi batu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Batu Gantung berikut ini!.
Alkisah,di sebuah desa terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni. Selain rupawan, Seruni juga sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan hasilnya digunakan untuk mencukupikebutuhan sehari-hari.
Pada suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua orang tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang, gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk merenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba.
Sepertinya ia sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara anjingnya, si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu. Sekali-sekali anjing itu menggonggong untuk mengalihkan perhatian sang majikan, namun sang majikan tetap saja usik dengan lamunannya.
Memang beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa tidak sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa.
“Ya, Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini,” keluh Seruni. Beberapa saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Dengan berderai air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya gadis itu ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam itu.
Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil menggonggong. Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Seruni berjalan ke arah tebing Danau Toba tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba ia terperosokke dalam lubang batu yang besar hingga masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu membuat suasana di dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu sangat ketakutan. Di dasar lubang yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu cadas itu bergerak merapat hendak menghimpitnya.
“Tolooooggg……! Tolooooggg……! Toloong aku, Toki!” terdengar suara Seruni meminta tolong kepada anjing kesayangannya.
Si Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut lubang. Beberapa kali Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki benar-benar tidak mampu menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus asa.
“Ah, lebih baik aku mati saja daripada lama hidup menderita,” pasrah Seruni.
Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat. “Parapat! Parapat batu… Parapat!” seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya..
Sementara si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus menggonggong di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan, ia pun segera berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan. Sesampai di rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.
“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar tanah untuk memberitahukan kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam keadaan bahaya.
“Toki…, mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?” tanya ayah Seruni kepada anjing itu.
“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak mereka ke suatu tempat.
“Pak, sepertinya Seruni dalam keadaan bahaya,” sahut ibu Seruni.
“Ibu benar. Si Toki mengajak kita untuk mengikutinya,” kata ayah Seruni.
“Tapi hari sudah gelap, Pak. Bagaimana kita ke sana?” kata ibu Seruni.
“Ibu siapkan obor! Aku akan mencari bantuan ke tetangga,” seru sang ayah. Tak lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman rumah ayah Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si Toki ke tempat kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung menuju ke arah mulut lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam lubang untuk memberitahukan kepada warga bahwa Seruni berada di dasar lubang itu.
Kedua orang tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah terkejutnya ketika mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di pinggir ladang mereka. Di dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara seorang wanita: “Parapat… ! Parapat batu… Parapat!”
“Pak, dengar suara itu! Itukan suara anak kita! seru ibu Seruni panik.
“Benar, bu! Itu suara Seruni!” jawab sang ayah ikut panik.
“Tapi, kenapa dia berteriak: parapat, parapatlah batu?” tanya sang ibu.
“Entahlah, bu! Sepertinya ada yang tidak beres di dalam sana,” jawab sang ayah cemas.
Pak Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun dasar lubang itu sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya obor.
“Seruniii…! Seruniii… !” teriak ayah Seruni.
“Seruni…anakku! Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.
Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu merapat untuk menghimpitnya.
“Parapat… ! Parapatlah batu… ! Parapatlah!”
“Seruniiii… anakku!” sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.
Warga yang hadir di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang warga mengulurkan seutas tampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun tampar itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin khawatir dengan keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun ke dalam lubang batu.
“Bu, pegang obor ini!” perintah sang ayah.
“Ayah mau ke mana?” tanya sang ibu.
“Aku mau menyusul Seruni ke dalam lubang,” jawabnya tegas.
“Jangan ayah, sangat berbahaya!” cegah sang ibu.
“Benar pak, lubang itu sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang warga.
Akhirnya ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat. Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas.
Beberapa saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batu cadas di dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama “Batu Gantung”.
Beberapa hari kemudian, tersiarlah berita tentang peristiwa yang menimpa gadis itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat kejadian untuk melihat “Batu Gantung” itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu menceritakan kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup, terdengar suara: “Parapat… parapat batu… parapatlah!”Oleh karena kata “parapat” sering diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian diberi nama “Parapat”.
Parapat kini menjadi sebuah kota kecil salah satu tujuan wisata yang sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Demikian cerita tentang asal-usul nama kota prapat. Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat putus asa atau lemah semangat. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Seruni yang hendak mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam, namunia justru terperosok ke dalam lubang batu dan menghimpitnya hingga akhirnya meninggal dunia
Ikebana
Kata ikebana merupakan
gabungan dari kata ‘ike’ yang berari ‘hidup’ atau ‘tumbuh’ dan kata ‘hana/
bana’ yang berarti ‘bunga’. Jadi, secara etimologi ikebana berarti
‘bunga hidup’. Secara populer, ikebana diterjemahkan sebagai ‘seni
merangkai bunga’.
Ikébana (生花) adalah seni
merangkai bunga yang memanfaatkan berbagai jenis bunga, rumput-rumputan
dan tanaman dengan tujuan untuk dinikmati keindahannya. Ikebana berasal dari Jepang tapi
telah meluas ke seluruh dunia. Dalam bahasa Jepang, Ikebana juga dikenal dengan istilah kadō (華道, ka, bunga; do, jalan kehidupan) yang lebih menekankan
pada aspek seni untuk mencapai kesempurnaan dalam merangkai bunga.
Asal-usul
Asal-usul Ikebana (いけばな) adalah
tradisi mempersembahkan bunga di kuil Buddha di
Jepang. Ikebana berkembang bersamaan dengan perkembangan agama Buddha di Jepang
di abad ke-6.
Ada penelitian yang mengatakan Ikebana berasal dari
tradisi animisme orang zaman kuno yang menyusun kembali tanaman yang
sudah dipetik dari alam sesuai dengan keinginannya. Di zaman kuno, manusia
merasakan keanehan yang terdapat pada tanaman dan
mengganggapnya sebagai suatu misteri. Berbeda dengan binatang yang langsung
mati setelah diburu, bunga atau bagian tanaman yang sudah dipetik dari alam
bila diperlakukan dengan benar tetap mempertahankan kesegaran sama seperti
sewaktu masih berada di alam. Manusia yang senang melihat "keanehan"
yang terjadi kemudian memasukkan bunga atau bagian tanaman yang sudah dipotong
ke dalam vas bunga. Manusia zaman kuno
lalu merasa puas karena menganggap dirinya sudah berhasil mengendalikan
peristiwa alam yang sebelumnya tidak bisa dikendalikan oleh manusia.
Ketakjuban manusia terhadap tumbuhan yang dianggap
mempunyai kekuatan aneh juga berkaitan dengan pemujaan tanaman yang selalu
berdaun hijau sepanjang tahun (evergreen). Manusia zaman dulu yang
tinggal di negeri empat musim percaya bahwa kekuatan misterius para dewa
menyebabkan tanaman selalu berdaun hijau sepanjang tahun dan tidak merontokkan
daunnya di musim dingin.
Sejarah seni merangkai bunga
Menurut literatur klasik seperti Makura no sōshi
yang bercerita tentang adat istiadat Jepang, tradisi mengagumi bunga dengan
cara memotong tangkai dari sekuntum bunga sudah dimulai sejak zaman Heian. Pada mulanya, bunga diletakkan di dalam wadah yang
sudah ada sebelumnya dan kemudian baru dibuatkan wadah khusus untuk vas bunga.
Ikebana dalam bentuk seperti sekarang ini baru dimulai
para biksu di kuil Chōhōji Kyoto pada
pertengahan zaman Muromachi. Para biksu kuil Chōhōji secara turun temurun tinggal di kamar (bō)
di pinggir kolam (ike), sehingga aliran baru Ikebana yang dimulainya
disebut aliran Ikenobō.
Di pertengahan zaman Edo,
berbagai kepala aliran (Iemoto) dan guru besar kepala
(Sōke) menciptakan seni merangkai bunga gaya Tachibana atau Rikka yang
menjadi mapan pada masa itu.
Di pertengahan zaman Edo hingga akhir zaman Edo, Ikebana
yang dulunya hanya bisa dinikmati kalangan bangsawan atau kaum samurai
secara berangsur-angsur mulai disenangi rakyat kecil. Pada zaman itu, Ikebana
gaya Shōka (seika) menjadi populer di kalangan rakyat.
Aliran Mishōryū, aliran Koryū, aliran Enshūryū dan aliran
Senkeiryū melahirkan banyak guru besar dan ahli Ikebana yang memiliki teknik
tingkat tinggi yang kemudian memisahkan diri membentuk banyak aliran yang lain.
Ikebana mulai diperkenalkan ke Eropa pada
akhir zaman Edo hingga masa awal era Meiji
ketika minat orang Eropa terhadap kebudayaan Jepang sedang mencapai puncaknya.
Ikebana dianggap memengaruhi seni merangkai bunga Eropa yang mencontoh Ikebana
dalam line arrangement.
Sejak zaman Edo lahir banyak sekali aliran yang merupakan
pecahan dari aliran Ikenobō. Pada bulan Maret 2005
tercatat 392 aliran Ikebana yang masuk ke dalam daftar Asosiasi Seni Ikebana
Jepang.
Gaya Rangkaian dalam Ikebana
Rikka (Standing Flower)adalah ikebana gaya tradisional yang
banyak dipergunakan untuk perayaan keagamaan. Gaya ini menampilkan keindahan
landscape tanaman. Gaya ini berkembang sekitar awal abad 16. Ada 7 keutamaan
dalam rangkaian gaya Rikka, yaitu : shin, shin-kakushi, soe, soe-uke,
mikoshi, nagashi dan maeoki
Shoka adalah rangkaian ikebana yang tidak terlalu formal tapi
masih tradisional. Gaya ini difokuskan pada bentuk asli tumbuhan. Ada 3 unsur
utama dalam gaya Shoka yaitu : shin, soe, dan tai. Sesuai dengan
perkembangan zaman, sesudah Restorasi Meiji 1868, gaya ini lebih berkembang karena adanya pengaruh
Eropa Nageire arti bebasnya
“dimasukan” (rangkaian dengan vas tinggi dengan rangkaian hampir bebas)dan Moribana. rangkaian menggunakan wadah rendah dan mulut lebar). Lalu
pada tahun 1977 lahir gaya baru yaitu Shoka Shimputai, yang lebih modern,
terdiri dari 2 unsur utama yaitu shu dan yo, dan unsur pelengkapnya, ashirai.
Jiyuka adalah rangkaian
Ikebana bersifat bebas dimana rangkaiannya berdasarkan kreativitas serta
imaginasi. Gaya ini berkembang setelah perang dunia ke-2. Dalam rangkaian ini
kita dapat mempergunakan kawat,logam dan batu secara menonjol.
Langganan:
Postingan (Atom)