MUDHARABAH
Menurut bahasa, kata mudharabah berasal
dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu melakukan perjalanan untuk berniaga.
Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi
mencari sebagian karunia Allah.” (QS Al-Muzzammil : 20).
Mudharabah disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang
berarti qath (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya
untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.
Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua
belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain
supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai
dengan ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah III: 212).
Dalam
fiqih Islam mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara rab
al-mal (investor) dengan seorang pihak kedua (mudharib) yang berfungsi
sebagai pengelola dalam berdagang. Istilah mudharabah oleh ulama fiqh
Hijaz menyebutkan dengan Qiradh.
Mudharabah
berasal
dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian
memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang
memukul kakinya dalam menjalankan usaha. Secara terminologi, para Ulama
Fiqh mendefinisikan Mudharabah atau Qiradh dengan : “Pemilik
modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk
diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama
dan dibagi menurut kesepakatan”.
Mudharib
menyumbangkan
tenaga dan waktunya dan mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat-syarat
kontrak. Salah satu cirri utama dari kontrak ini adalah bahwa keuntungan, jika
ada, akan dibagi antara investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah
disepakati sebelumnya. Kerugian, jika ada, akan ditanggung sendiri oleh si
investor.
Hukum Mudharabah
dan Dasar Hukumnya.
Dalam
Islam akad mudharabah dibolehkan, karena bertujuan untuk saling membantu antara
rab al-mal (investor) dengan pengelola dagang (mudharib). Demikian
dikatakan oleh Ibn Rusyd
(595/1198)
dari madzhab Maliki bahwa kebolehan akad mudharabah merupakan suatu kelonggaran
yang khusus6. Meskipun mudharabah tidak secara langsung disebutkan oleh al-Qur‟an atau Sunnah, ia adalah sebuah
kebiasaan yang diakui dan dipraktikkan oleh umat Islam, dan bentuk dagang semacam
ini tampaknya terus hidup sepanjang periode awal era Islam sebagai tulang
punggung perdagangan karavan dan perdagangan jarak jauh.
Dasar
hukum yang biasa digunakan oleh para Fuqaha tentang kebolehan bentuk kerjasama
ini adalah firman Allah dalam Surah al-Muzzammil ayat 20 :
...وَآَخَرُونَ
يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّه
Artinya
: “....dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah....”.
(Al-muzammil : 20)
لَيْسَ عَلَّيْكُمْ
جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًّا مِنْ رَبِكُم
Artinya
: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari
karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu....”. (al-Baqarah : 198).
Kedua
ayat tersebut di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang
secara bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT di muka bumi.
Kemudian dalam Sabda
Rasulullah
SAW. dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang dilakukan oleh Abbas
Ibn al-Muthalib yang artinya :
“Tuan kami „Abbas Ibn Abd al-Muthalib
jika menyerahkan hartanya (kepada seorang yang pakar dalam perdagangan)
melalui akad mudharabah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan
diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak
boleh dibelikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak atau berjalan. Jika
(ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat
yang dikemukakan „Abbas Ibn Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW,
dan Rasul membolehkannya”. (HR. Ath-Tabrani).
Diakatakan
bahwa Nabi dan beberapa Sahabat pun terlibat dalam kongsi-kongsi mudharabah.
Menurut Ibn Taimiyyah, para fuqaha menyatakan kehahalan mudharabah
berdasarkan riwayat-riwayat tertentu yang dinisbatkan kepada beberapa Sahabat
tetapi tidak ada Hadits sahih mengenai mudharabah yang dinisbatkan kepada Nabi.
JENIS-JENIS MUDHARABAH
Secara
umum, Mudharabah terbagi menjadi dua jenis:
- Mudharabah Muthlaqah (Mudharabah secara mutlak/bebas). Maksudnya adalah bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pengelola modalyang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus sholih seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari pemilik modal kepada pengelola modal yang memberi kekuasaan sangat besar.
- Mudharabah Muqayyadah (Mudharabah terikat). Jenis ini adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Yakni pengelola modal dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha.
Perbedaan
antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai dengan
kehendak pemilik modal.
RUKUN DAN SYARAT MUDHARABAH
Imam
An-Nawawi menyebutkan bahwa Mudharabah memiliki lima rukun:
- Modal.
- Jenis usaha.
- Keuntungan.
- Shighot (pelafalan transaksi)
- Dua pelaku transaksi, yaitu pemilik modal dan pengelola. (Ar-Raudhahkarya imam Nawawi (5/117))
Menurut
ulama Syafi’iyah, rukun-rukun Qiradh ada enam, yaitu:
1. Pemilik barang yang menyerahkan
barang-brangnya;
2. Orang yang bekerja, yaitu mengelola
barang yang diterima dari pemilik barang;
3. Akad mudharabah, dilakukan oleh pemilik
dan pengelola barang;
4. Mal, yaitu harta pokok atau modal;
5. Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan
harta sehingga menghasilkan laba;
6. Keuntungan.
Syarat sah mudharabah antara lain:
- Modal/barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai
- Bagi yang melakukan aqad disyaratkan mampu melakukan tasharuf
- Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba
- Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas presentasinya
- Melafadzkan ijab dari pemilik modal
- Mudharabah bersifat mutlak
- Mudharabah akan berakhir apabila:
- Masing-masing pihak menyatakan bahwa aqad itu batal
- Salah seorang yang berakad gila
- Pemilik modal murtad (keluar dari agama Islam)
- Modal telah habis terlebih dahulu sebelum dikelola pelaksana.
Sedangkan
syarat-syarat dalam Mudharabah ialah sebagaimana berikut:
1.
Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2.
Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal
berikut:
a.
Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak
(akad).
b.
Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad
dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan
cara-cara komunikasi modern.
3. Modal
ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada
pengelola (mudharib) untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal
harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal
dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk
aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal
tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib (pengelola
modal), baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam
akad.
4.
Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari
modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus
diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu
pihak.
b. Bagian
keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada
waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari
keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c.
Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola
tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan
disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5.
Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan modal yang
disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a.
Kegiatan usaha adalah hak eksklusif pengelola (mudharib), tanpa campur tangan
penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b.
Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang
dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c.
Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang
berhubungan dengan mudharabah,dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam
aktifitas itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar