Jumat, 25 Januari 2013

mudharabah



MUDHARABAH
Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu melakukan perjalanan untuk berniaga.
Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (QS Al-Muzzammil : 20).

Mudharabah disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.

Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah III: 212).

Dalam fiqih Islam mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara rab al-mal (investor) dengan seorang pihak kedua (mudharib) yang berfungsi sebagai pengelola dalam berdagang. Istilah mudharabah oleh ulama fiqh Hijaz menyebutkan dengan Qiradh.

Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukul kakinya dalam menjalankan usaha. Secara terminologi, para Ulama Fiqh mendefinisikan Mudharabah atau Qiradh dengan : “Pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan”.

Mudharib menyumbangkan tenaga dan waktunya dan mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Salah satu cirri utama dari kontrak ini adalah bahwa keuntungan, jika ada, akan dibagi antara investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian, jika ada, akan ditanggung sendiri oleh si investor.
Hukum Mudharabah dan Dasar Hukumnya.
Dalam Islam akad mudharabah dibolehkan, karena bertujuan untuk saling membantu antara rab al-mal (investor) dengan pengelola dagang (mudharib). Demikian dikatakan oleh Ibn Rusyd
(595/1198) dari madzhab Maliki bahwa kebolehan akad mudharabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus6. Meskipun mudharabah tidak secara langsung disebutkan oleh al-Quran atau Sunnah, ia adalah sebuah kebiasaan yang diakui dan dipraktikkan oleh umat Islam, dan bentuk dagang semacam ini tampaknya terus hidup sepanjang periode awal era Islam sebagai tulang punggung perdagangan karavan dan perdagangan jarak jauh.

Dasar hukum yang biasa digunakan oleh para Fuqaha tentang kebolehan bentuk kerjasama ini adalah firman Allah dalam Surah al-Muzzammil ayat 20 :
...وَآَخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّه
Artinya : “....dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah....”.
(Al-muzammil : 20)

لَيْسَ عَلَّيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًّا مِنْ رَبِكُم
Artinya : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu....”. (al-Baqarah : 198).

Kedua ayat tersebut di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT di muka bumi. Kemudian dalam Sabda
Rasulullah SAW. dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang dilakukan oleh Abbas Ibn al-Muthalib yang artinya :
“Tuan kami „Abbas Ibn Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharabah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh dibelikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak atau berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan „Abbas Ibn Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya”. (HR. Ath-Tabrani).
Diakatakan bahwa Nabi dan beberapa Sahabat pun terlibat dalam kongsi-kongsi mudharabah. Menurut Ibn Taimiyyah, para fuqaha menyatakan kehahalan mudharabah berdasarkan riwayat-riwayat tertentu yang dinisbatkan kepada beberapa Sahabat tetapi tidak ada Hadits sahih mengenai mudharabah yang dinisbatkan kepada Nabi.

JENIS-JENIS MUDHARABAH
Secara umum, Mudharabah terbagi menjadi dua jenis:
  1. Mudharabah Muthlaqah (Mudharabah secara mutlak/bebas). Maksudnya adalah bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pengelola modalyang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus sholih seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari pemilik modal kepada pengelola modal yang memberi kekuasaan sangat besar.
  2. Mudharabah Muqayyadah (Mudharabah terikat). Jenis ini adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Yakni pengelola modal dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha.
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai dengan kehendak pemilik modal.


RUKUN DAN SYARAT MUDHARABAH
Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa Mudharabah memiliki lima rukun:
  1. Modal.
  2. Jenis usaha.
  3. Keuntungan.
  4. Shighot (pelafalan transaksi)
  5. Dua pelaku transaksi, yaitu pemilik modal dan pengelola. (Ar-Raudhahkarya imam Nawawi (5/117))
Menurut ulama Syafi’iyah, rukun-rukun Qiradh ada enam, yaitu:
1.      Pemilik barang yang menyerahkan barang-brangnya;
2.      Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang;
3.      Akad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dan pengelola barang;
4.      Mal, yaitu harta pokok atau modal;
5.      Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba;
6.      Keuntungan.

Syarat sah mudharabah antara lain:
  • Modal/barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai
  • Bagi yang melakukan aqad disyaratkan mampu melakukan tasharuf
  • Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba
  • Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas presentasinya
  • Melafadzkan ijab dari pemilik modal
  • Mudharabah bersifat mutlak
  1. Mudharabah akan berakhir apabila:
  • Masing-masing pihak menyatakan bahwa aqad itu batal
  • Salah seorang yang berakad gila
  • Pemilik modal murtad (keluar dari agama Islam)
  • Modal telah habis terlebih dahulu sebelum dikelola pelaksana.


Sedangkan syarat-syarat dalam Mudharabah ialah sebagaimana berikut:
1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada pengelola (mudharib) untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib (pengelola modal), baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif pengelola (mudharib), tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah,dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar