JOKO KENDIL DAN SI GUNDUL
Di sebuah desa dekat pedalaman
Yogyakarta hiduplah seorang anak bernama Joko Kendil. Dia di beri nama Joko
Kendil karena bentuk tubuhnya yang bulat seperti kendil atau periuk. Joko
Kendil tinggal bersama ibunya. Walaupun sering diejek oleh masyarakat sekitar
Joko Kendil tidak pernah berkecil hati, dia tetap ringan tangan membantu penduduk di pasar. Tubuh Joko Kendil yang
bulat menyebabkan tidak ada seorangpun yang mau berteman dengannya. sehari-hari
Joko Kendil hanya berdua saja dengan ibunya melakukan kegiatan sehari-hari.
Suatu hari dikampung tersebut
kedatangan lagi sebuah warga baru yang tidak jauh berbeda dengan keluarga Joko
Kendil. Mereka adalah keluarga sederhana dan memiliki seorang anak lelaki yang
kurus tinggi serta kepalanya yang gundul. Jika terkena matahari kepala anak
lelaki itu jadi berkilat dan membuatnya semakin lucu. Karena kepalanya yang
gundul maka dia diberi nama si Gundul. Sama seperti Joko Kendil, si Gundul juga
tidak memiliki seorang teman. Dia sering diejek oleh masyarakat, hal ini
menyebabkan si Gundul menjadi rendah diri dan tersisih. Suatu hari si Gundul
bertemu dengan Joko Kendil. Bersama Joko Kendil dia tidak di ejek malah
sebaliknya Joko Kendil sangat bersahabat. Sejak itulah si Gundul dan Joko
Kendil senantiasa bersama-sama dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
Walaupun terlihat lucu dan botak
ternyata si Gundul memiliki banyak keahlian, si Gundul sangat mahir membuat layangan. Berdua bersama Joko kendil
mereka membuat layangan yang besar yang tidak pernah dibuat oleh anak-anak di
kampung tersebut. Joko Kendil sangat senang ketika si Gundul memberikan
layangan itu untuk dimainkan olehnya. Selain itu si Gundul juga mahir memanah.
Dia mengajarkan Joko Kendil cara memanah yang baik. Dalam waktu singkat saja
Joko Kendil sudah semakin mahir memanah, sasarannya senantiasa tepat walaupun
dalam jarak yang jauh.
Pada suatu hari, Joko Kendil
mendengar berita yang sedang banyak dibicarakan oleh orang-orang di pasar.
Berita tentang raja yang mempunyai tiga orang putri yang cantik dan raja yang
sedang mencari menantu untuk putrinya. Mendengar berita itu Joko Kendil
bermaksud untuk meminang salah satu dari ketiga putri raja tersebut. Ibunya
yang mengetahui niat Joko Kendil merasa keberatan dan sedih sebab takut anaknya
tidak akan diterima oleh raja. Warga kampung semakin banyak yang mengolok-olok
Joko Kendil tentang maksudnya meminang salah satu putri raja. Hanya si Gundul
yang memberi semangat kepada Joko Kendil. Menurutnya, kebaikan hati dan kemuliaan
budi pekerti Joko Kendil akan membawanya pada kebaikan.
Maka berangkatlah Joko Kendil
bersama ibunya menuju istana, si Gundul memberikan busur panah kesayangannya
kepada Joko Kendil sebagai kenang-kenangan dan senjata untuk berjaga-jaga
selama di perjalanan. Ketika tiba di istana, raja memanggil ketiga putrinya.
Putri yang pertama dan kedua langsung menolak lamaran Joko Kendil begitu
melihat wujudnya yang bulat seperti periuk. Namun putri yang ketiga malah
menerima pinangan tersebut. Maka walaupun dengan berat hati akhirnya raja
menerima pinangan tersebut dan menikahlah putri bungsunya dengan Joko Kendil.
Hari berganti hari, pada suatu ketika di istana sedang diadakan perlombaan
memanah. Ketika itu ada seorang pemudah yang tampan mampun memanah dengan baik.
Sasarannya tidak pernah meleset, wajahnya yang tampan membuat putri sulung dan
putri yang kedua menjadi simpati dan berusaha untuk memikatnya. Mereka mengejek
si bungsu karena bersedia menikah dengan Joko Kendil yang buruk rupa.
Karena selalu di hina oleh kedua
kakaknya, si bungsu menangis dan berlari ke dalam kamar. Sesampainya di dalam
kamar putri bungsu menemukan sebuah guci, dengan geram guci tersebut di banting
ke lantai. Kemudian tiba-tiba datanglah seorang pemuda tampan yang mahir
memanah. Putri bungsu menjadi terkejut, lalu pemuda itu menjelaskan bahwa dia
adalah Joko Kendil. Karena guci itu telah di banting putri maka Joko Kendil
tidak bisa lagi berubah menjadi bentuk penyamarannya. Lalu Joko Kendil
menanyakan pada sang putri adakah putri mau menerima dirinya dalam bentuk
pemuda yang tampan. Sang putri sangat gembira dan memberitahu kepada ayahnya
bahwa pemuda yang mahir memanah itu adalah Joko Kendil.
Setelah hidup bahagia bersama putri
di istana Joko Kendil tidak lupa pada sahabatnya si Gundul. Joko Kendil kembali
ke kampungnya dan menemui si Gundul lalu mengajaknya untuk tinggal di istana.
Mulanya si Gundul menolak sebab takut jika Joko Kendil akan malu jika mempunyai
sahabat gundul seperti dirinya. Namun Joko Kendil tidak memikirkan hal itu, akhirnya
si Gundul di bawa ke istana dan menjadi pelatih memanah bagi prajurit istana
dan hidup bahagia bersama sahabatnya.
Nasehat : Janganlah melihat
seseorang hanya dari luarnya saja, tetapi liat dari kepribadiannya. Si Gundul
dan Joko Kendil mempunyai bentuk tubuh yang tidak bagus. Tetapi kebesaran
hatilah yang membuat semua hinaan tidak berarti.
RORO JONGRANG
Alkisah pada zaman dahulu kala,
berdiri sebuah kerajaan yang sangat besar yang bernama Prambanan. Rakyat
Prambanan sangat damai dan makmur di bawah kepemimpinan raja yang bernama Prabu
Baka. Kerajaan-kerajaan kecil di wilayah sekitar Prambanan juga sangat tunduk
dan menghormati kepemimpinan Prabu Baka.
Sementara itu di lain tempat, ada
satu kerajaan yang tak kalah besarnya dengan kerajaan Prambanan, yakni kerajaan
Pengging. Kerajaan tersebut terkenal sangat arogan dan ingin selalu memperluas
wilayah kekuasaanya. Kerajaan Pengging mempunyai seorang ksatria sakti yang
bernama Bondowoso. Dia mempunyai senjata sakti yang bernama Bandung, sehingga
Bondowoso terkenal dengan sebutan Bandung Bondowoso. Selain mempunyai senjata
yang sakti, Bandung Bondowoso juga mempunyai bala tentara berupa Jin. Bala
tentara tersebut yang digunakan Bandung Bondowoso untuk membantunya untuk
menyerang kerajaan lain dan memenuhi segala keinginannya.
Hingga Suatu ketika, Raja Pengging
yang arogan memanggil Bandung Bondowoso. Raja Pengging itu kemudian
memerintahkan Bandung Bondowoso untuk menyerang Kerajaan Prambanan. Keesokan
harinya Bandung Bondowoso memanggil balatentaranya yang berupa Jin untuk
berkumpul, dan langsung berangkat ke Kerajaan Prambanan.
Setibanya di Prambanan, mereka
langsung menyerbu masuk ke dalam istana Prambanan. Prabu Baka dan pasukannya
kalang kabut, karena mereka kurang persiapan. Akhirnya Bandung Bondowoso
berhasil menduduki Kerajaan Prambanan, dan Prabu Baka tewas karena terkena
senjata Bandung Bondowoso.
Kemenangan Bandung Bondowoso dan
pasukannya disambut gembira oleh Raja Pengging. Kemudian Raja Pengging pun
mengamanatkan Bandung Bondowoso untuk menempati Istana Prambanan dan mengurus
segala isinya,termasuk keluarga Prabu Baka.
Pada saat Bandung Bondowoso tinggal
di Istana Kerajaan Prambanan, dia melihat seorang wanita yang sangat cantik
jelita. Wanita tersebut adalah Roro Jonggrang, putri dari Prabu Baka. Saat
melihat Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso mulai jatuh hati. Dengan tanpa
berpikir panjang lagi, Bandung Bondowoso langsung memanggil dan melamar Roro
Jonggrang.
“Wahai Roro Jonggrang, bersediakah seandainya dikau menjadi
permaisuriku?”, Tanya Bandung Bondowoso pada Roro Jonggrang.
Mendengar pertanyaan dari Bandung
Bondowoso tersebut, Roro Jonggrang hanya terdiam dan kelihatan bingung.
Sebenarnya dia sangat membenci Bandung Bondowoso, karena telah membunuh ayahnya
yang sangat dicintainya. Tetapi di sisi lain, Roro Jonggrang merasa takut
menolak lamaran Bandung Bondowoso. Akhirnya setelah berfikir sejenak, Roro
Jonggrang pun menemukan satu cara supaya Bandung Bondowoso tidak jadi
menikahinya.
“Baiklah,aku menerima lamaranmu. Tetapi setelah kamu
memenuhi satu syarat dariku”,jawab Roro Jonggrang.
“Apakah syaratmu itu Roro Jonggrang?”,Tanya Bandung
Bandawasa.
“Buatkan aku seribu candi dan dua buah sumur dalam waktu
satu malam”, Jawab Roro Jonggrang.
Mendengar syarat yang diajukan Roro
Jonggrang tersebut, Bandung Bondowoso pun langsung menyetujuinya. Dia merasa
bahwa itu adalah syarat yang sangat mudah baginya, karena Bandung Bondowoso
mempunyai balatentara Jin yang sangat banyak.
Pada malam harinya, Bandung
Bandawasa mulai mengumpulkan balatentaranya. Dalam waktu sekejap, balatentara
yang berupa Jin tersebut datang. Setelah mendengar perintah dari Bandung
Bondowoso, para balatentara itu langsung membangun candi dan sumur dengan
sangat cepat.
Roro Jonggrang yang menyaksikan
pembangunan candi mulai gelisah dan ketakutan, karena dalam dua per tiga malam,
tinggal tiga buah candi dan sebuah sumur saja yang belum mereka selesaikan.
Roro Jonggrang kemudian berpikir
keras, mencari cara supaya Bandung Bondowoso tidak dapat memenuhi
persyaratannya.
Setelah berpikir keras, Roro
Jonggrang akhirnya menemukan jalan keluar. Dia akan membuat suasana menjadi
seperti pagi,sehingga para Jin tersebut menghentikan pembuatan candi.
Roro Jonggrang segera memanggil
semua dayang-dayang yang ada di istana. Dayang-dayang tersebut diberi tugas
Roro Jonggrang untuk membakar jerami, membunyikan lesung, serta menaburkan
bunga yang berbau semerbak mewangi.
Mendengar perintah dari Roro
Jonggrang, dayang-dayang segera membakar jerami. Tak lama kemudian langit
tampak kemerah merahan, dan lesung pun mulai dibunyikan. Bau harum bunga yang
disebar mulai tercium, dan ayam pun mulai berkokok.
Melihat langit memerah, bunyi
lesung, dan bau harumnya bunga tersebut, maka balatentara Bandung Bondowoso
mulai pergi meninggalkan pekerjaannya. Mereka pikir hari sudah mulai pagi, dan
mereka pun harus pergi.
Melihat Balatentaranya pergi,
Bandung Bondowoso berteriak: “Hai balatentaraku, hari belum pagi. Kembalilah
untuk menyelesaikan pembangunan candi ini !!!”
Para Jin tersebut tetap pergi, dan tidak menghiraukan
teriakan Bandung Bondowoso. Bandung Bondowoso pun merasa sangat kesal, dan
akhirnya menyelesaikan pembangunan candi yang tersisa. Namun sungguh sial,
belum selesai pembangunan candi tersebut, pagi sudah datang. Bandung Bondowoso
pun gagal memenuhi syarat dari Roro Jonggrang.
Mengetahui kegagalan Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang lalu
menghampiri Bandung Bondowoso. “Kamu gagal memenuhi syarat dariku, Bandung
Bondowoso”, kata Roro Jonggrang.
Mendengar kata Roro Jonggrang tersebut, Bandung Bondowoso
sangat marah. Dengan nada sangat keras, Bandung Bondowoso berkata: “Kau curang
Roro Jonggrang. Sebenarnya engkaulah yang menggagalkan pembangunan seribu candi
ini. Oleh karena itu, Engkau aku kutuk menjadi arca yang ada di dalam candi
yang keseribu !”
Berkat kesaktian Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang berubah
menjadi arca/patung. Wujud arca tersebut hingga kini dapat disaksikan di dalam
kompleks candi Prambanan, dan nama candi tersebut dikenal dengan nama candi
Roro Jonggrang. Sementara candi-candi yang berada di sekitarnya disebut dengan
Candi Sewu atau Candi Seribu.
Unsur intrinsik pada Legenda :
1. Tema : Asal Mula Candi Prambanan
2. Seting
a. Tempat : Prambanan
b. Waktu : Malam hari dan Pagi hari.
c.Suasana : Menegangkan dan
Menakutkan.
3.Alur : Maju.
4.Penokohan
a. Antagonis : Bandung Bondowoso dan
Loro Jonggrang.
b. Figuran : Rakyat, Tentara, Para
jin.
5.Amanat : Jadilah orang yang
menepati janji jika tidak ingin balasanya tertimpa pada diri sendiri.
6.Sudut pandang :Orang ke tiga.
7.Gaya bahasa : Majas,peribahasa.
Unsur Ekstrinsik : Bernilai social, nilai pendidikan, Budaya
Konon menurut cerita yang dimitoskan oleh masyarakat
Yogyakarta Selatan, terjadilah suatu peristiwa yang sangat menakjubkan. Yakni
terjadinya sungai Gajah Wong pada zaman kerajaan Mataram yang diperintah oleh
Raja Sultan Agung.
Kali Gajah Wong adalah sebuah kali yang terletak
ditengah-tengah kota kecamatan Kotagede. Panjang kali ini tak lebih dari 20
kilometer.
Pada abad ke-17, kali ini merupakan kali yang kecil.
Masyarakat di situ menyebutnya sebuah kalen, yang artinya kali kecil. Dan
kebetulan airnyapun hanya gemercik mengalir sedikit sekali. Pada suatu hari
Sultan memanggil seorang Pawang Gajah.
“Pawang, cobalah kau mandikan gajah itu hingga bersih”.
“Oh…. hamba akan kerjakan kehendak Gusti Sultan,” jawab
Pawang.
“Di kali sana, yang airnya bening sekali,” sabda Sultan
lagi.
“Demi Sultan, akan segera kukerjakan perintah ini”.
Tetapi mana mungkin, kali ini sangat sedikit airnya.
Tak dapat untuk memandikan gajah yang besar itu. Pawang termenung sejenak
sebelum turun ke kali kecil itu. Tetapi apalah daya, tak mungkin Pawang ini
menolak kehendak Gusti Sultan. Dan dia segera turun ke kali bersama gajahnya.
Air kali itu hanya dapat membasahi kuku gajah dan tumit Pawang. Dengan segala
cara Pawang tak berhasil memandikan gajahnya, karena air yang gemercik tak
cukup untuk mengguyur seluruh tubuh gajah. Pawang mulai panik. Mulai risau.
Takut akan mendapat amarah dari Sultan. Dia segera memutuskan untuk pulang,
untuk menghadap Gusti Sultan. Dia berharap, kiranya Gusti Sultan tak akan
marah.
“Ampun beribu ampun Gusti Sultan, hamba telah bardosa
tidak dapat menunaikan perintah Gusti Sultan. Hukumlah hamba ini atas kesalahan
hamba. Hamba tak dapat memandikan gajah dengan bersih. Karena air kali cuma
sedikit sekali. Dan rasanya tidak mungkin hamba dapat memandikannya,” hatur
Pawang dengan gemetar.
“Tidak, aku tidak akan menghukummu Pawang, sebelum kau
mencoba dengan sebaik-baiknya. Cobalah sekali lagi kau bawa ke kali, gajah yang
kau mandikan tadi. Kalau dengan sabar, aku yakin, pasti kau akan dapat
melakukannya dengan baik. Pergilah sekarang juga.”
Tanpa membantah Pawang segera pergi ke kali dengan
gajahnya. Melihat air kali yang semakin sedikit itu, Pawang semakin gelisah.
Kemudian dia bersama gajahnya menuruni kali.
Dia memutar otaknya, bagaimana cara yang paling baik
agar gajah dapat dimandikan.
“O, sungai membuatku celaka ! Airnya tak cukup untuk
mengguyurku. Apalagi untuk memandikan gajah,” katanya sendirian sambil mengusap
tubuh gajah dengan air itu.
“Hentikan saja airmu ini wahai kali, daripada engkau
membuatku celaka. Keringlah kau air, daripada menambah sedihku. Habislah kau
air !” kata Pawang dengan geram.
Tiba-tiba saja air kali kecil itu mendadak banjir.
Banjir besar sampai melanda daerah sekeliling kali itu. Pawang tidak dapat
menguasai diri. Air kali itu menghanyutkan Pawang dan gajahnya.
Pada akhirnya Gusti Sultanpun mendengar berita tentang
Banjir itu. Gusti Sultan sangat terkejut mendengarnya. Dan untuk
kenang-kenangan, kali itu disebut kali ‘Gajah Wong”, karena kali telah
menghanyutkan gajah dan orang (Pawang).
Sampai kinipun di desa Wonokromo Kecamatan Pleret masih
terdapat bukit kecil, yang letaknya di pinggir kali Gajah Wong, yang dimitoskan
warga, bahwa bukit itu adalah makam seorang Pawang dan gajahnya.
Asal
Usul Gunung Merapi, Yogyakarta
Pada jaman dahulu kala, pulau Jawa
belum banyak daerah yang dihuni oleh manusia. Kebanyakan wilayahnya adalah
hutan belantara yang dihuni oleh makhluk-maklhuk gaib dan binatang liar.
Keadaan pulau jawa pada waktu itu miring, shingga mengkawatirkan kelangsungan
makluk hidup yang menghuninya. Hanya ada beberapa bagian yang dihuni oleh
sekelompok manusia yang hidup secara bergerombol dan suka berpindah-pindah
karena keganasan alam dan serangan musuh.
Para penghuni pulau jawa ini tidak
menyadari kalau tanah yang mereka tempati itu sebenarnya miring, sehingga ada
kekhawatiran akan meluncur dan tenggelam ke laut Selatan. Yang mengetahui
keadaan ini adalah para dewa di kayangan yang peduli akan kelangsungan hidup
para penghuni pulau Jawa waktu itu. Para dewa di kayangan akhirnya sepakat
untuk membuat agar pulau Jawa tidak miring, sehingga para penghuninya bisa
berkembang biak dan semakin maju peradabannya.
Untuk membuatnya tidak miring, para
dewa di kayangan berencana memberikan pemberat yang diletakkan di tengah-tengah
pulau. Kemudian para dewa bekerja keras untuk mewujutkan rencana mereka.
Pekerjaan dimulai dengan menimbang pulau Jawa untuk menentukan titik tengah
keseimbangan pulau itu. Terjadilah gempa bumi yang dahsyat pada waktu itu
karana pulau itu diangkat dan diletakkan diatas timbangan oleh para dewa.
Dahsyatnya gempa bumi pada waktu itu tidak menimbulkan banyak korban jiwa,
karena sudah diperhitungkan oleh pawa dewa dan penduduk waktu itu hanya tinggal
di gubuk-gubuk. Ketakutan yang mereka alami tentu saja tidak bisa mereka
elakkan lagi. Tidak hanya menusia yang ketakutan namun para penghuni lainnya
termasuk binatang juga lari tunggang-langgang ketakutan.
Para penghuni pulau Jawa pada saat
terjadi gempa yang dahsyat itu kebanyakan larinya ke arah selatan, sehingga
menambah parah kemiringan pulau Jawa. Para dewa pun berpikir keras untuk
menaruh pemberat yang lebih besar dari yang diperkirakan mereka sebelumnya.
Para dewa kemudian berunding lagi
untuk menentukan pemberat yang akan mereka taruh di tengah pulau itu. Mereka
memutuskan menggunakan Gunung Jamurdwipa yang yang sangat terkenal bagi
makhluk-makhluk gaib dan sangat tinggi menjulang di dalam laut selatan. Para
dewa kemudian memberikan pengarahan dan meminta ijin para penghuni Gunung
Jamurdwipa aga segera pindah tempat, karena gunung yang mereka tempati akan
dipindahkan ke tengah-tengah pulau Jawa.
Nyai
Andan Sari dan Kyai Guru Soka
Cerita
Rakyat Yogyakarta
Pada zaman dahulu kala di Desa Jepitu daerah Tepus, Gunung Kidul tinggallah
sebuah keluarga yang sangat miskin. Keluarga ini terdiri dari suami, isteri,
dan dua orang anaknya (seorang laki-laki dan yang seorang lagi perempuan).
Suami-isteri itu bernama Kyai dan Nyai Goa Soka, sedang anaknya yang laki-laki
bernama Guru soka dan yang perempuan bernama Andan Sari.
Kemiskinan yang dialami oleh keluarga Kyai/Nyai Goa Soka ini, terjadi setelah
keduanya menikah. Apalagi setelah kedua anaknya lahir, kehidupan mereka semakin
susah. Lama-kelamaan, karena sudah tidak tahan menderita lebih lama lagi, maka
Kyai Goa Soka memutuskan untuk bertapa, mencari wahyu agar kehidupan rumah
tangganya lebih baik. Singkat cerita, niat bertapa itu segera ia laksanakan.
Setelah beberapa bulan Kyai Goa Soka meninggalkan anak-isterinya untuk pergi
bertapa. Selama itu pula keluarganya tak pernah sekali pun mendengar kabar
beritanya. Hal ini membuat anak-isterinya merasa cemas. Tiap hari Guru Soka dan
Andan Sari selalu menangis dan mengajak ibunya segera mencari ayah ayahnya.
Mendengar kedua anaknya yang selalu merengek tersebut, Nyai Goa Soka akhirnya
tidak tahan juga dan mengajak mereka untuk mencari Kyai Goa Soka.
Karena mereka belum tahu di mana Kyai Goa Soka berada, maka arah perjalanannya
pun hanya kira-kira saja. Namun, setelah beberapa hari berjalan, akhirnya
mereka berhasil juga menemukan tempat pertapaan Kyai Goa Soka yang terletak di
Sendang Sureng. Pertemuan ini sangat menggembirakan mereka berempat. Beberapa
hari kemudian, setelah pertemuan itu dirasa cukup, maka Nyai Goa Soka bersama
kedua anaknya lalu kembali ke Jepitu lagi, sedang Kyai Goa Soka tetap
meneruskan tapanya.
Lebih dari satu tahun kemudian, ternyata Kyai Goa Soka belum juga kembali dari
tapanya. Selama itu pula keluarganya selalu menunggu dengan hati cemas. Dan,
akhirnya Nyai Goa Soka bersama kedua anaknya lalu menyusul lagi ke Sendang
Sureng untuk melihat keadaan suaminya.
Sampai di Sendang Sureng mereka merasa heran karena Kyai Goa Soka tidak ada di
situ. Dalam keheranan dan sekaligus kebingungan itu, tiba-tiba mereka mendengar
suara Kyai Goa Soka, tetapi tidak melihat orangnya. Kata Kyai Goa Soka:
“Sudahlah jangan cemaskan aku. Mulai hari ini kalian tetaplah menunggu di
tempat ini. Akulah yang akan mencari sandang dan pangan untuk kedua anak kita
serta untukmu juga, Nyai.”
Setelah suara itu menghilang, Nyai Goa Soka dan kedua anaknya tiba-tiba melihat
ujud Kyai Goa Soka. Selanjutnya, Kyai Goa Soka lalu membawa isteri dan
anak-anaknya menghilang ke suatu tempat. Sejak itu penduduk Desa Jepitu tidak
dapat melihat lagi ujud Kyai Goa Soka sekeluarga. Mereka menganggap bahwa Kyai
Goa Soka sekeluarga telah menjadi gaib (kajiman).
Pada suatu hari Kyai Goa Soka menyuruh kedua anaknya agar mereka menjelajahi
serta menghitung semua sendang yang ada di daerah Gunung Kidul. Jika telah
diketahui jumlahnya, keduanya harus tinggal di sendang pada hitungan terakhir
dan satu hitungan sebelum sendang terakhir.
Guru Soka dan Andan Sari lalu berangkat melaksanakan perintah ayahnya untuk
menghitung jumlah seluruh sendang di Gunung Kidul. Setelah semua sendang yang
ada selesai dikunjungi, maka diketahuilah bahwa jumlahnya ada 31. Pada waktu
itu untuk menyebut angka 31 dipakai istilah beji yang berasal dari kata behji.
Sendang itu oleh Guru Soka kemudian dinamakan Sendang Beji. Dan, di Sendang
Beji inilah Guru Soka akan menetap untuk selamanya, seperti yang diperintahkan
oleh ayahnya.
Setelah berada di sedang terakhir (Sendang Beji) ini, Andan Sari mengatakan
bahwa ia akan mulih (pulang) ke sendang yang telah diperuntukkan baginya, yaitu
sendang yang berada satu hitungan sebelum sendang terakhir. Dari perkataan
mulih itu, sendang tempat Andan Sari menetap kemudian dinamakan Sendang Mole,
yang letaknya berdekatan dengan Sendang Beji. Demikianlah asal mula kedua
sendang itu dinamakan Sendang Beji dan Sendang Mole.
Setelah beberapa lama Guru Soka menetap di Sendang Beji dan Andan Sari di
Sendang Mole, maka Kyai Goa Soka dan Nyai Goa Soka bermaksud mencari kedua
anaknya. Kedua suami-isteri itu pun segera mencari anak-anaknya di seluruh
sendang yang ada di wilayah Gunung Kidul. Akhirnya mereka menemukan Guru Soka
dan Andan Sari di Sendang Beji dan Sendang mole. Melihat sendang yang ditempati
kedua anaknya itu, Kyai dan Nyai Goa Soka merasa cocok dan puas. Kyai Goa Soka
lalu berkata kepada kedua anaknya:
“Tempatmu ini kelak akan banyak dikunjungi orang. Dan, di antara orang-orang
itu tentu ada yang datang meminta agar dikabulkan permohonannya dan ada pula
yang datang namun bertindak sembrono dengan tidak mematuhi aturan-aturan yang
berlaku di tempat ini. Nah, dari mereka inilah kalian akan memperoleh sandang
dan pangan. Berbuatlah jail pada orang-orang yang sembrono ini.”
“Maksudnya bagaimana, Romo?” tanya kedua anaknya.
“Seandainya di tempatmu ada orang berbuat tidak senonoh dan tidak sopan,
ataupun kurang menghormati tempatmu ini, ganggulah dia, tapi jangan sampai
mati! Sebab kalau sampai mati mereka tidak dapat memberimu sandang atau pangan.
Ganggu sajalah mereka sampai mengadakan peruwatan (selamatan) dan syukuran.
Syukuran juga akan dilakukan bagi orang-orang yang merasa permohonannya
dikabulkan. Nah, dari situlah kalian dapat memperoleh sandang serta pangan,”
kata Kyai Goa Soka.
Bertahun-tahun kemudian, setelah wilayah Gunung Kidul menjadi ramai, Sendang
Mole dan Sendang Beji pun banyak dikunjungi orang. Melihat hal ini, Guru Soka
memberi wangsit pada seorang penduduk yang bertempat tinggal dekat Sendang Mole
dan Sendang Beji, bernama Ki Serah. Dalam wangsit itu Ki Serah diberi
kepercayaan untuk menjaga kedua sendang dan melayani segala kehendak atau
permintaan orang-orang yang datang. Sejak saat itu Ki Serah lalu menjadi
jurukunci di kedua sendang tersebut. Kalau ada orang datang minta berkah maka
Ki Serah yang menjadi perantaranya dengan membakar kemenyan sambil menyebut
nama Ki Guru Soka dan Nyai Andan Sari. Dan, apabila telah terkabul
keinginannya, maka mereka akan mengadakan syukuran dengan menyembelih kambing
di kedua sendang tersebut. Syukuran itu waktunya biasanya bersamaan dengan
“nyadran”, yaitu Jumat Legi pada bulan Suro.
Setelah Ki Sareh meninggal dunia maka jabatan juru kunci digantikan oleh anaknya
yang bernama Ki Krama Menggala. Pada masa Krama Menggala ini upacara nyadran
dilaksanakan dengan selamatan sederhana, yaitu menyembelih kambing untuk
kemudian dimakan bersama dengan penduduk setempat. Sebelum upacara nyadran
dilaksanakan, terlebih dahulu Sendang Beji dan Sendang Mole harus dikuras.
Sendang Mole dan Sendang Beji memiliki mata air yang sangat besar. Karena
besarnya mata air di sana maka dikhawatirkan pada saat musim hujan akan
menimbulkan bencana banjir bagi warga di sekitar sendang tersebut. Untuk
menjinakkan agar airnya jangan sampai meluap diperlukan seorang pawang.
Satu-satunya orang yang dianggap mampu menjadi pawang di tempat itu hanyalah
Wonotaruno, adik Kromo Manggala. Oleh Wonotaruno disarankan agar mata air
tersebut disumbat dengan ijuk. Ternyata setelah disumbat, air itu tetap
melimpah.
Karena tidak berhasil menyumbat mata air di kedua sendang itu, maka penduduk
yang berada di sekitarnya menjadi resah. Melihat keresahan penduduk tersebut,
Kyai Guru Soka kemudian memberi wangsit kepada salah seorang penduduk untuk
menyediakan sesaji berupa gamelan komplit dengan wayangnya, agar sendang tidak
terlampau melimpah airnya.
Penduduk lalu bergotong-royong untuk menyediakan sesaji berupa gamelan yang
komplit dilengkapi dengan wayangnya. Konon, seketika itu juga gamelan dan
wayang menghilang. Sebenarnya gamelan dan wayang itu tidak hilang, tetapi hanya
tidak dapat terlihat oleh pandangan mata biasa. Pendapat ini dibuktikan dengan
selalu terdengarnya bunyi gamelan yang datangnya dari arah sendang pada tiap
malam Jumat.
Pada suatu malam ada salah seorang penduduk yang menerima wangsit yang
mengatakan bahwa apabila ada orang yang membutuhkan gamelan serta wayang maka
Kyai Guru Soka dan Nyai Andan Sari bersedia meminjamkan, asalkan setelah selesai
segera dikembalikan.
Sejak saat itu banyak penduduk yang akan punya hajad selalu meminjam gamelan
dan wayang ke sana. Namun sayang sekali, pada suatu ada seorang penduduk yang
berbuat khilaf, dengan tidak mengembalikan salah satu perangkat gamelan yaitu
kempul. Mulai saat itu penduduk sudah tidak dapat lagi meminjam gamelan, di
samping itu suara yang sering terdengar menghilang sama sekali. Sedangkan,
orang yang lupa mengembalikan kempul itu lalu menanggung akibat yang cukup
berat. Anaknya mati semua, juga ternak peliharaannya.
Saat Ki Krama Manggala meninggal dunia, kedudukannya sebagai kuncen digantikan
oleh Ki Panca Manggala. Selanjutnya Ki Panca Manggala digantikan oleh Ki Mangun
Taruno. Orang inilah yang sampai sekarang biasa melakukan upacara nyadran di
Sendang Mole dan Sendang Beji.